Jelajah Desain Parhyangan Agung Gunung Rinjani

Lombok Barat- Rancangan sebuah Pura atau Parhyangan Agung mengandung kompleksitas dalam tatanan, bentuk, ruang dan makna. Sebagaimana yang bisa disaksikan pada desain sebuah Pura yang terletak di Dusun Kebaloan, Desa Senaru, Kecamatan Bayan - Lombok Barat. Lokasinya berada sekitar 70 km dari kota Mataram. Apa dan bagaimana rancangan Pura yang disebut pula sebagai Parhyangan Agung Gunung Rinjani ini?

Dalam penyusunan konsep perencanaan dan perancangan Parhyangan ini ternyata tidak saja melibatkan arsitek bangunan, namun juga mengikutsertakan para undagi (arsitek tradisional), pedanda (pendeta), pemuka agama, kalangan Parisada Hindu, Majelis Hindu maupun para tokoh masyarakat setempat. Bahkan konsep yang dituangkan dalam bentuk rancangan memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri.

Pura atau Parhyangan ini juga merupakan perluasan areal Pura yang sudah memiliki palinggih atau bangunan suci sebelumnya. Terlebih status Pura itu telah ditetapkan sebagai salah satu Pura Kahyangan Jagat sejak 10 September1995. Keunikan yang dimiliki itu lebih awalnya bisa dikaji melalui konsep yang bersumber dari lontar ”Padma Bhuwana”, khususnya untuk penataan Kahyangan Jagat yang disebut dengan ”Astha Pungku Pranawa” yang menyiratkan tentang sukat atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam membangun Kahyangan Jagat, untuk 8 (delapan) mandala (ruang) yang menjaga Ista Dewata.

Konsep yang dituangkan berdasarkan sumber lontar itu disebut dengan `Panca Maya Mandala` (lima ruang dalam proses perjalanan hidup), terdiri dari: (1) luhuring ing akasa (ruang kosong = sunya), bermakna: yang ada awalnya dari kosong, atau dari `nir rupa ke swa rupa` (dari tiada menjadi ada); (2) luhuring ambal-ambal; (3) sor ing ambal-ambal (alam pengetahuan); (4) ring petala (alam `panca maha butha`); (5) dasa nala (alam kehidupan).

Titik Orientasi Spiritual
Rancangan arsitektural Parhyangan Agung Gunung Rinjani ini melibatkan Tim Perencana dari Biro Konsultan ”Sian D saiN”-Bali yang terdiri dari tiga orang arsitek, yaitu I Wayan Jandra Budhiana, I Ketut Siandana, dan I Ketut Adhimastra, serta seorang undagi, Ida I Dewa Ketut Mardiana. Tata letak bangunan-bangunan berpedoman pada konsep `Panca Maya Mandala`.

Dalam ruang yang disebut `luhuring ing akasa` tidak dirancang bangunan. Sementara dalam ruang (mandala) luhuring ambal-ambal di desain tata letak bangunan: Padmasana, Meru tumpang 11, Meru tumpang 9, patung Ganesa, Patung Budha, Bale Mas, Bale Selaka, Bale Agung, Bale Pawedan, Bale Pesandekan, Kori Agung dan Peletasan.

Di mandala selanjutnya (disebut sor ing ambal-ambal) dirancang palinggih Kemalik, Pura Penataran Ped, Pura Melanting, palinggih Dewi Kwan Im, Bale Gong, Kori Agung dan Peletasan. Sedangkan di area Jaba Sisi ditempatkan Bale Kulkul, Pesandekan, Candi Bentar dan Peletasan. Di area Petala yang tidak bertembok panyengker terdapat bangunan Pertiwi, Peninjoan dan Wantilan.

Selain berpedoman pada arah terbit dan tenggelamnya matahari, gunung Rinjani di pulau Lombok juga dijadikan sebagai titik orientasi spiritual bagi tempat peribadatan Hindu setempat. Sebagaimana tertulis dalam Purana Hyang Pasupati di mana Gunung Rinjani disebutkan punya hubungan erat dengan Gunung Semeru di Jawa dan Gunung Agung di Bali. Gunung-gunung itu dikatakan sebagai acala lingga (lingga yg tak bergerak), berdasarkan mitologi yang dipetik dari Ida Hyang Pasupati yang berasal dari Gunung Mahameru-India.

Menurut ”Purana Bhuwana Kosa”, ada tujuh gunung yang disebut sebagai ”istana” Tuhan, yakni: Gunung Mahameru (India), Gunung Kailas (Tibet), Gunung Semeru (Jawa Timur), Gunung Agung (Bali), Gunung Rinjani (Lombok) dan Gunung Lampo Batang (Sulawesi).

Area keseluruhan Pura/ Parhyangan Agung Gunung Rinjani yang direncanakan adalah dengan posisi memanjang arah kaja-kelod, berukuran panjang 351,56 meter dan lebar 82,8 meter. Dalam desain dibuat pada halaman terluar sebagai tempat parkir, di mana sebelum menuju mandala Petala (halaman pura terluar yang tidak bertembok panyengker) mesti melalui tangga naik yang panjangnya sekitar 25,72 meter. Bangunan-bangunan suci yang ada adalah sebagaimana yang disebut kan sebelumnya di atas.

`Bangun` (shape) dari Padmasana adalah abstraksi bentuk geometris bersusun berbingkai `kayonan`. Bataran ber-undag (bertangga) mengerucut terpancung sebagai landasan dari bangunan inti-nya. Induk Padma yang duduk di atas bataran itu juga memiliki `raut` mengerucut, semakin ke atas kian mengecil.

Palinggih dari Padmasana adalah sebagai simbol (nyasa) kedudukan (stana) Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan berbagai sebutan, seperti bisa disebut: Sang Hyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang dirasakan manusia sebagai ”surya” atau matahari. Bisa pula disebut sebagai Sang Hyang Tri Purusa, yakni sebagai manifestasi yang manunggal: sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.

Adapun ragam hias yang dikandung oleh bangunan Padmasana ini antara lain: di dasar bangunan terdapat ukiran empas atau kura-kura besar yang disebut Bhedawangnala yang dibelit oleh dua ekor naga yang mengikat antara empas dengan dasar bangunan Padmasana.. Pada bagian puncak dari bangunan suci ini terdapat singgasana berlatar belakang ”ulon” (semacam sandaran dari singgasana). Adapun bahan bangunannya-direncanakan-terbuat dari batu padas yang bisa diperoleh dari desa Teluk Nara, Tanjung-Lombok Barat.

Bangunan Meru di sini (baik tumpang 11 maupun 9) memiliki tampak menyerupai Candi yang memiliki tiga kelompok tingkatan anak tangga (undag). Pada hilir railing anak tangga (undag)—di kiri kanannya—terdapat relief naga. Patung-patung para Dewa pun tampak mengelilingi setiap tingkat bataran Meru. Baik Meru tumpang 11 (sebelas) maupun tumpang 9 (sembilan) memiliki ukuran dasar bangunan yang sama, yaitu berukuran 12, 161 meter dan 18,853 meter.

Meru merupakan simbol alam semesta (andhabuwana) yang terdiri dari tiga bagian: bhur loka, bwah loka dan swah loka. Tingkatan atap Meru merupakan simbolis dari ”penglukunan Dasaksara” (peredaran sepuluh huruf suci) yang dikaitkan dengan para Dewa, manifestasi Tuhan sebagai penguasa alam semesta.

Tumpang 11 dan 9 yang direncanakan di sini adalah Meru untuk ”Dewa Pratistha” artinya Meru selaku sarana sakral untuk memuja Dewa, manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.. Meru-Meru tersebut memiliki makna filosofis: media pemujaan yang hendaknya dilanjutkan dengan mewujudkan makna pemujaan itu ke dalam kehidupan nyata menata sumber daya alam dan sumber daya manusia secara seimbang.

Bagaimana dengan Bale Pesandekan dan Bale Kulkul yang ada? Bale Pesandekan merupakan sebagai tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke utama mandala. Sementara Bale Kulkul yang ada adalah tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.

Faktor dan Unsur Arsitektur
Apa yang bisa disaksikan dalam desain Parhyangan ini adalah adanya faktor-faktor dan beberapa unsur pokok arsitektur parhyangannya. Faktor-faktor arsitekturnya adalah menyangkut pada skala, tatanan, ritme, bobot, kekuatan dan massa bangunan. Sementara unsur pokok arsitektur yang ada di dalamnya adalah `kesadaran` akan adanya ruang yang religius dan adanya dialog antara ruang dan struktur. Selain itu adalah permainan ”bangun” dan pengayaan akan bentuk Sedang kan tentang makna (jati diri atau identitas) dari Parhyangan ini menyangkut pada nilai rancangan dan style, tempat, waktu dan aspek sosialnya.

Faktor skala sangat kentara terlihat. Sebagai bangunan suci, skala monumentalnya ditunjukkan oleh bangunan-bangunan suci yang mengerucut dan meruncing ke atas, hanya bentuknya disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Misalnya pada bangunan Meru, merupakan sebagai bangunan suci dengan atap bertumpang. Begitu pula bangunan Padmasana dan bangunan suci lainnya.

Sementara tatanan dapat dilihat dari ungkapan tatanan ruang dan massa bangunan. Di mana dalam konsep ”Asta Pungku Pranawa” penataan ruang dalam site (tapak) dibagi (secara horizontal) menjadi 9 (sembilan). Di sini ada ketentuan tata letak membangun Kori Agung, yang seharusnya ditempatkan di mandala 7 dan 8, bukan di tengah.

Menurut salah satu undagi yang turut di dalam perencanaan, Ida I Dewa Ketut Mardiana, dalam mendesain bangunan suci ada ketentuan tentang ukuran (sikut) khusus untuk Pura, sebagaimana juga untuk Parhyangan Agung Gunung Rinjani ini, yang membedakannya dengan ukuran-ukuran untuk pembangunan rumah tinggal.

Dalam membuat bangunan suci dikenal dengan ukuran (sikut) ”Ngebah Selikur” (ukuran mengandung kelipatan 21 ”rai”), sementara dalam membangun rumah tinggal (umah) menerapkan sikut ”Ngebah Solas” (11 ”rai”). Disebutkan pula, kalau berdasarkan Asta Pungku Pranawa, secara mendasar ruang ”spiritual”nya terbagi menjadi 5 (lima) ruang (mandala). Ihwal ini berlaku untuk rancangan sebuah Pura. Sementara dalam Asta Kosala Kosali (tatanan pengukuran dalam membangun rumah tinggal) membagi ruang menjadi 3 mandala.

Ritme dapat ditunjukkan oleh atap-atap Meru yang bertumpang. Garis dan bidang-bidang geometris pada bataran yang mengerucut ke arah atas. Juga jejeran arca para Dewa yang ada di sekeliling badan Padmasana, Meru dan bebertapa palinggih lainnya, seperti Palinggih Pangaruman, Palinggih Budha/Kong Co, Palinggih Ganesha, dan palinggih Kemalik/ Dewi Anjani dan Betara Penataran Ped.

Semua massa bangunan pada dasarnya berbentuk segi empat. Umumnya pada bagian kaki serta badan `massif` dan semua wujud massa bangunan berpatokan pada Konsep ”Tri Angga”, yakni tiga bagian ”tubuh” yang berproporsi selaras, harmonis dan seimbang (adanya bagian kepala, badan dan kaki) pada bangunan itu secara utuh.

Pada bagian masif ini menggunakan bahan dari batu padas yang ditatah atau ditempel ragam hias yang mengandung makna dan nilai-nilai religius dan filosofis. Sementara pada bagian atap bangunan kebanyakan lebih bersifat transparan oleh tiang-tiang yang berfungsi sebagai penyangga atap.

Sumber: www.kompas.com (17 September 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts