Medan, Sumatra Utara - Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-63 RI diperingati dengan pelbagai cara. Di Medan, Sumatera Utara, warga Tionghoa menggelar upacara bendera. Sementara itu, di Ende, Nusa Tenggara Timur, masyarakat mengadakan balap babi.
Menurut salah satu panitia, Johan Tjongiran, Minggu (17/8), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia menggelar upacara dengan semangat pembauran. ”Acara ini kami gelar untuk ketiga kalinya. Kami ingin membuktikan bahwa warga keturunan Tionghoa sama dengan warga lain. Kami juga ingin merayakan kemerdekaan Indonesia,” tuturnya.
Lurah Pasar Baru, Kecamatan Medan Kota, Des Abbas menyambut positif hal itu. Di kawasan bisnis di jantung Kota Medan itu sebanyak 90 persen warga beretnis Tionghoa. Upacara itu juga melibatkan warga lain, baik warga keturunan India, Melayu, Batak, maupun Jawa. Dalam upacara itu diberikan tanda penghargaan kepada 17 mantan pejuang kemerdekaan yang tinggal di Medan.
Sementara itu, pihak Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, NTT, bekerja sama dengan Balai Taman Nasional (BTN) Kelimutu untuk pertama kalinya mengadakan balap babi.
Warga yang penasaran berbondong-bondong ke lokasi balap babi di Lapangan Woloara, Desa Woloara, sekitar 53 kilometer dari Ende.
”Saya senang dengan lomba ini. Meriah. Balapan babi baru pertama kali dibuat di sini,” kata Nebas, warga Woloara, Minggu.
Koordinator Resor Kelimutu BTN Kelimutu Falentinus Lape menyatakan, kegiatan balap babi dipilih dengan pertimbangan besarnya potensi babi di NTT. ”Kalau di Madura ada karapan sapi, di Sumbawa ada karapan kerbau, mengapa di sini potensi babi tak dimanfaatkan,” katanya.
Menurut Camat Kelimutu Yoseph Primus Bhato, masyarakat Ende umumnya memelihara babi, baik untuk keperluan acara adat, pesta keluarga, maupun dijual untuk menopang kebutuhan keluarga. Jumlah babi di Kecamatan Kelimutu sedikitnya 8.000 ekor.
Kegiatan itu juga dinilai mendorong sektor pariwisata di Ende, khususnya di Kecamatan Kelimutu. Hal senada dikemukakan Kepala BTN Kelimutu Gatot Soebiantoro. Balap babi dapat menjadi alternatif agenda wisata.
Tak nikmati kemerdekaan
Sebaliknya, kemerdekaan terasa direnggut dari warga Suku Anak Dalam (SAD) di Kabupaten Merangin, Jambi. Mereka kini terusir dari hutan warisan nenek moyang yang berubah menjadi perkebunan sawit. ”Wilayah kami berubah menjadi kebun sawit 10 tahun lalu. Kami diusir pekerja perkebunan bila hendak membangun pondok,” tutur salah satu warga SAD, Sekar, Sabtu.
Seiring perubahan fungsi hutan, warga SAD tidak bisa lagi mencari getah damar atau buah jernang untuk dijual. Hewan buruan juga makin langka.
Kini mereka bertahan hidup dengan berburu babi hutan. ”Babi hutan sekarang semakin susah. Satu bulan paling dapat lima atau enam ekor,” ujar Sekar.
Isi perut babi hutan diambil untuk dimakan, dagingnya dijual seharga Rp 2.500 per kilogram. Seekor babi hutan beratnya sekitar 5 kilogram. Uang hasil penjualan untuk membeli keperluan kelompok yang beranggotakan 20-an orang.
Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudi Syaf, mengatakan, saat ini setidaknya sebanyak 400 warga SAD telah keluar dari hutan dan hidup berkelompok di sepanjang jalur lintas Sumatera. Ada yang diupah tauke untuk mencari labi-labi dan babi, ada yang menjadi pengemis. (NDY/SEM/ITA)
Sumber: cetak.kompas.com (18 Agustus 2008)