Bali - Sesekali peluh Nyoman Reni (32) menetes memenuhi wajahnya. Sesekali pula tangan kirinya menyeka peluh. Tangan kanannya memegang kuat keranjang besar yang berisi belanjaan seorang ibu di Pasar Badung, Denpasar, Senin (11/8).
Pekerjaan mekuli (jasa kuli angkut belanjaan) ini yang tiyang (saya) bisa lakukan. Tiyang bukan orang sekolahan. Di Karangasem, pekerjaan susah dan tidak ada. Di sini (Denpasar), tiyang bisa mencukupi makan, indekos, dan sekolah dua anak di sekolah dasar,” kata Nyoman Reni, warga asal Karangasem, sekitar 30 kilometer arah timur Denpasar.
Di Pasar Badung, puluhan wanita pengusung belanjaan, seperti Nyoman Reni, berseliweran. Bahkan, anak-anak perempuan pun mudah dijumpai. Sehari mereka bisa meraup uang dari jasa itu sekitar Rp 20.000. Menjelang hari raya seperti Galungan pada 20 Agustus, para kuli perempuan itu pun semangat karena mendapat hasil bisa lebih dari Rp 50.000 sehari.
Sementara itu, Ketut Rai (18), perempuan yang baru lulus SMK di Badung, tengah menggantungkan panggilan kerja dari lamarannya di beberapa vila. Baginya, bekerja di vila lebih menguntungkan karena pemilik dan penyewa kebanyakan orang asing. ”Ya, kata saudara, tetangga, dan teman-teman yang bekerja di vila-vila itu bayarannya lumayan dan tips dari tamu juga lumayan,” ujarnya agak malu-malu.
Di Pulau Dewata, penduduk tahun 2007 tercatat 3.527.994 jiwa tersebar di sembilan kabupaten/kota. Angkatan kerja tahun 2006 mencapai 1,99 juta jiwa atau lebih dari 60 persen penduduk. Namun, sebagian besar penduduk menumpuk di Bali selatan, Badung, dan Denpasar.
Mereka pulang ke kampung halaman masing-masing ketika hari raya, seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, atau perayaan agama dan adat. Gambaran suasana Denpasar dan Badung saat hari raya agama Hindu di Bali seperti suasana Kota DKI Jakarta yang ditinggalkan penghuninya untuk mudik ketika Lebaran alias sepi.
Ribuan penduduk asli, seperti dari Karangasem dan Bulelang, memilih hijrah ke kota, yaitu Denpasar dan Badung. Mereka menganggap kedua wilayah di selatan Bali itu mudah mendapatkan uang ketimbang di daerah asal. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun urusan kekeringan di Karangasem pun tak kunjung tuntas.
Kelompok warga yang mengadu nasib itu rata-rata berusia muda. Apalagi tidak kurang dari dua per tiga anak-anak lulusan sekolah dasar di Bali yang tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Data tahun 2006/2007, angka kelulusan sekolah dasar tercatat 397.506 siswa, tetapi yang melanjutkan ke SMP 145.372 anak. Mereka ini yang sebagian ikut orangtua bekerja sebagai buruh kasar di pasar atau memutuskan tinggal di rumah bagi kaum perempuan dan menunggu ada anak lelaki meminangnya.
Merangkak naik
Memasuki tahun 1990-an, pariwisata mulai merangkak naik menjadi bidang favorit pekerjaan yang menggiurkan. Bali utara yang mayoritas penduduk mengandalkan pertanian dan perdagangan itu pun mulai tergiur menjadi pekerja di industri pariwisata. ”Saat itu uang dollar Amerika Serikat gampang didapat. Sekarang susah-susah gampang. Bisa dapat pembeli turis asing lebih dari sepuluh setiap hari saja sudah bagus banget sekarang,” kata Luh Tini, pedagang suvenir di Kuta.
Dari sembilan kabupaten/kota di Bali, Kabupaten Badung menurut catatan tahun 2005, dengan pendapatan asli daerah tertinggi, Rp 329 miliar. Sedangkan daerah Bali utara, seperti Bangli, hanya mencatat Rp 6 miliar dan Karangasem Rp 22 miliar.
Kesenjangan ini antara lain dilihat dari pesatnya perkembangan Bali selatan, seperti Denpasar dan Badung, melalui sektor pariwisata. Badung terdongkrak oleh adanya Pantai Kuta, kawasan Nusa Dua, Garuda Wisnu Kencana, serta ratusan hotel dari bintang lima hingga kelas melati semua ada.
Jumlah hotel bintang lima di Bali tercatat 38 hotel dan 28 di antaranya berlokasi di Kabupaten Badung pada 2006. Tamu yang menginap pun sebagian besar adalah wisatawan asing sekitar 1,3 juta orang dibandingkan dengan wisatawan domestik yang 675.266 orang.
Sementara kawasan Bali utara terkesan tidak terurus. Selain ketidakmampuan pemerintah daerah dari segi finansial yang menjadi dalih pemimpinnya, fokus masyarakat pada pariwisata adalah gemerlap di Badung dan Denpasar. Dengan demikian, Pulau Dewata yang pada era sebelum tahun 1990-an berjaya di bidang pertanian semakin ditinggalkan, khususnya oleh para pemuda. Orang tua pun tak mampu mencegah datangnya arus angin surga metropolitan.
Arus angin surga ini pun datang dan mengancam keberadaan keasrian masyarakat Bali. Orang asing atau orang dari luar Bali mulai mengendus kelemahan warga lokal Dewata. Berbagai lahan produktif, seperti persawahan, lambat laun berganti menjadi gedung-gedung vila atau hotel. Setiap tahun hampir 700 hektar sawah beralih fungsi.
Permasalahan pembangunan ini tidak hanya meninggalkan kesan sedih atas alih fungsi persawahan dan sistem subak. Namun, pembangunan itu pun ternyata tidak mengindahkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Seperti kawasan yang disucikan di sekitar Pura Uluwatu pun menjadi korban kapitalisme pariwisata. Lainnya pembangunan hotel-hotel di Kuta telah menembus batas pantai atau sempadan pantai. Namun, peringatan demi peringatan, termasuk kritik melalui media, tidak digubris pemerintah daerah setempat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali Agung Wardana menyayangkan sikap pemerintah Provinsi Bali yang tidak serius menangani pelanggaran dan perusakan lingkungan sekitarnya. Karena itu, ia berharap pemimpin Bali periode 2008-2013, Made Mangku Pastika, berani mengambil sikap tegas demi ke-ajeg-an atau kelestarian Pulau Dewata.
Meski demikian, ia pun mengaku harap-harap cemas pada Bali ke depan. Alasannya, mengingat pada kampanye pemilihan langsung kepala daerah 9 Juli lalu tidak ada satu pun dari tiga kandidat gubernur menyinggung soal kelestarian alam dan lingkungan hidup.
Gubernur Bali Dewa Beratha, yang tinggal menghitung hari menjabat hingga 28 Agustus itu, pun hanya bisa bertutur dengan mengaku belum bisa berbuat banyak kepada tanah kelahirannya. Ia juga menyadari masih banyak pekerjaan rumah belum terselesaikan.
Warga kini menggantungkan harapan kepada gubernur terpilih Made Mangku Pastika, semoga ajeg Bali dapat terwujud di Pulau Dewata. Bukannya ajeg yang biasa diartikan oleh masyarakat Jawa Tengah adalah tetap atau stabil dan tidak pernah berubah. (Ayu Sulistyowati)
Sumber: cetak.kompas.com (20 Agustus 2008)