Semarang - Keberadaan Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang kini makin terancam. Candi Gedong Songo alias Sembilan Candi semasa budaya Hindu zaman Syailendra abad VIII, kini jadi rebutan penerapan konsep pengembangan wisata yang tumpang tindih oleh instansi-instansi yang berbeda.
Sekretaris Yayasan Ambarawa Heritage Kabupaten Semarang, Eddy Prianto, Kamis (31/7) mengemukakan, kawasan wisata andalan yang indah dengan ciri bangunan sembilan candi itu carut marut akibat salah konsep. Candi Gedong Songo ditemukan arkeolog Belanda, E.B Raffles setelah cukup lama terkubur di punggung lereng Gunung Ungaran.
Dalam setahun terakhir ini, banyak pendirian bangunan dan kios yang tidak teratur di sekeliling tiap-tiap candi. Pendirian bangunan itu menunjukkan ego masing-masing instansi yang merasa memiliki kawasan Candi Gedong Songo, kata Eddy Prianto.
Tiga instansi dimaksud meliputi Dinas Pariwisata, Dinas Kehutanan dan Dinas Purbakala yang menetapkan kawasan Candi Songo di Desa Candi sebagai kawasan cagar alam. Dari kajian terhadap pengembangan Candi Gedong Son go diketahui, kondisi candi bersejarah yang memiliki ciri-ciri Hindu dengan patung Syiwa, Ganesha dan Aagastya justru dapat saling meruntuhkan estetika dan konservasi candi.
Eddy Prianto mengemukakan, contoh adanya kios berwarna-warni yang muncul di sekitar candi buatan Dinas Purbakala. Tujuannya, memeriahkan sekitar candi untuk menarik pengunjung dekat dengan candi. Ada pula pembuatan arena luncur seperti flying fox yang menghubungkan satu kawasan dengan candi lain.
Dari segi kon servasi, di zona satu yang merupakan lingkup berdirinya candi mestinya daerah steril. Tidak boleh ada kegiatan manusia dalam jumlah besar, juga tidak boleh didirikan kios. Kios warna-warni itu justru menganggu kelangsung dan estetika candi itu sendiri, kata Eddy Prianto. (Winarto Herusansono)
Sumber: www.kompas.com (31 Juli 2008)