Jakarta- Nama sayuran ini mungkin asing di telinga Anda. Namun, bagi warga suku Dayak, sayur singkang adalah masakan favorit yang wajib dihidangkan di setiap acara, seperti pesta perkawinan, acara kematian, atau syukuran.
Sementara di Jawa ada sayur rebung yang terbuat dari inti (bonggol) bambu, nah, sayur singkang ini juga sama-sama dari bonggol, tapi bonggol pohon kelapa. Bentuk dan warnanya mirip, yakni putih. Bedanya, sayuran ini jauh lebih manis.
Irit Netty, staf Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, menjelaskan, bagi warga suku Dayak seperti dirinya, sayur singkang ini sudah dikenal sejak dulu. Mereka juga suka sayuran ini dalam kondisi mentah yang disantap dengan sambal.
Dulu masyarakat Dayak selalu menanam 2-3 pohon kelapa di halaman rumahnya. Fungsi kelapa, selain diambil buahnya, bila ada upacara kematian atau perkawinan akan ditebang 1-2 batang pohon kelapa untuk diambil intinya yang berada di bagian akar.
"Cukup menebang pohon sendiri dan mengolahnya menjadi sayuran untuk disuguhkan buat para tamu. Jadi, artinya, suku Dayak zaman dulu tidak ingin membebani orang lain bila ada hajatan karena cukup mengambil hasil dari kebun sendiri," ujar Irit Netty, yang berasal dari suku Dayak Ngaju.
Proses memasaknya sangat mudah dan cepat. Bagi orang Dayak, sayur ini hanya direbus kemudian diberi bumbu seperti layaknya sayur sop dan kemudian dicampur dengan ikan atau daging sesuai dengan selera.
"Biasanya kalau yang Kristen akan memasukkan daging babi. Namun, karena sekarang ini masyarakat Dayak sudah terdiri dari berbagi agama, agar sayuran ini biasa dinikmati semua kalangan, dicampur dengan daging ayam atau tulangan sapi," ujarnya, Rabu lalu. Alhasil, di bulan Ramadan, sayuran ini sering tersaji di keluarga muslim.
Sementara itu, Rita, rekan kerja Netty, mengungkapkan saat ini sayur singkang tak hanya diambil dari pohon kelapa biasa, tapi juga dari kelapa sawit. Bedanya, singkang dari kelapa sawit tidak begitu manis.
Selain itu, seiring masuknya berbagi suku ke Kalimantan Tengah, sayuran ini juga mengalami modernisasi. Dulu tanpa santan. Oleh suku Banjar, sayuran ini dimodifikasi dengan dicampur santan, waluh kuning, dan diberi kepala ikan. Rasanya lebih bervariasi dan biasanya pedas. "Kami orang Dayak bangga ternyata sayuran khas ini banyak yang suka, termasuk dari suku lain. Apalagi kini gampang dijumpai di restoran-restoran, seperti di Palangkaraya," Rita menambahkan. (Karana WW)
Sumber: www.tempointeraktif.com (19 September 2008