Perjuangan Arkeolog Unud Melacak Situs Trowulan, Mojokerto

Denpasar - Pulau Bali sebagai sentra perkembangan agama Hindu Nusantara tak bisa lepas dari sejarah kerajaan Hindu di tanah Jawa. Sudah banyak arkeolog yang membuktikan hal tersebut. Namun, tak banyak yang mengorek secara detail hubungan historis dua pulau yang hanya dipisahkan selat tersebut.

Menariknya, kini mahasiswa fakultas arkeologi dari empat universitas ternama di Indonesia, Universitas Udayana (Unud), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Hasanuddin (Unhas) dibantu sepuluh dosen arkeologi Unud, menelusuri sekaligus melacak situs yang belum terungkap di Trowulan.

“Kami bersama 79 mahasiswa dan dosen menggali situs Kerajaan Majapahit di dekat Candi Keraton, Trowulan,” jelas Prof Dr I Wayan Ardika MA, dekan Fakultas Sastra Unud.

Guru besar berpenampilan kalem itu mengaku, separo hidupnya dicurahkan untuk menggeluti arkeologi. Tak heran, ilmuwan 56 tahun tersebut dipercaya memberikan materi pembekalan kepada peserta penggalian sebelum berangkat ke lokasi tujuan.

“Ada tiga hal yang menjadi bukti ikatan Bali dengan Majapahit. Yaitu, sejarah politik, tradisi, dan arsitektur,” kata dosen lulusan Australian National University tersebut. “Ikatan itu berawal dari kehidupan Prabu Airlangga, raja Kahuripan,” ungkapnya.

Dalam Prasasti Pucangan dijelaskan, Prabu Airlangga merupakan putra pasangan Prabu Udayana dari Bali dan Mahendradata dari Jawa Timur keturunan Empu Sendok. Pada 1041 Masehi, Airlangga diangkat menjadi raja Kahuripan.

Kala itu, dia masih berusia 16 tahun. Ketika Airlanga turun takhta, Kahuripan dipecah menjadi dua. Yaitu, Jenggala dan Panjalu (cikal bakal Kerajaan Kediri). “Takhta Kerajaan Panjalu diberikan kepada putra mahkota, sedangkan Jenggala diberikan kepada anak dari selir,” jelas Ardika menerawang.

Lantas, apa hubungan dengan Bali? Ternyata, kehidupan kedua kerajaan `sedarah` itu tidak akur. Bali lebih condong kepada Panjalu. Puncaknya, Kerajaan Singosari dipimpin Raja Kartanegara yang pro-Jenggala menyerang Bali pada 1284. Bukan hanya itu, 59 tahun kemudian, Kerajaan Majapahit yang notabene penerus Kerajaan Singosari kembali menyerang Bali. Itu terjadi pada 1343. Saat itu, pasukan Majapahit yang dipimpin Gadjah Mada berhasil menaklukkan Bali.

Untuk meredam stabilitas keamanan pasca penyerangan, Gadjah Mada menunjuk Sri Kresna Kepakisan dari Panjalu untuk menjabat raja Bali. “Itu adalah trik politik meredam gejolak. Bali condong ke Panjalu. Makanya, Majapahit menaruh orang Kediri untuk bertakhta di Bali. Itu menggambarkan sejarah politik Bali-Majapahit waktu itu,” katanya.

Dari segi tradisi, Bali dan Majapahit juga memiliki kemiripan. “Pada 1362, Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara srada. Yakni, memperingati 12 tahun meninggalnya ibunya, Tribuana. Saat ini, upacara srada sama dengan memukur setelah ngaben,” ungkapnya.

Dari sisi arsitektur bangunan suci, diyakini juga ada kesamaan. “Contohnya, catus pata di Bali kebanyakan berada di timur laut. Analogi bangunan suci itulah yang sekarang kami aplikasikan ke Trowulan untuk mencari kesamaannya,” tegas lelaki yang menetap di Jalan Pucuk, Denpasar, tersebut.

Letak bangunan suci itulah yang sedang dikorek oleh "pasukan" Ardika di Trowulan, dekat Candi Keraton, sejak 27 Juli lalu. Menurut Ardika, mereka akan melakukan penelusuran hingga pertengahan Agustus ini. Namun, banyak hal yang sudah mereka temukan. Di antaranya, saluran drainase, sumur, dan lantai bangunan di bekas Kerajaan Majapahit. (end) (C. Setiyatmoko)

Sumber: www.jawapos.com (14 Agustus 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts