Jakarta - Menyusuri Jalan Gondangdia Lama yang kemudian berganti nama menjadi Jalan RP Soeroso, bahkan hingga ke lorong di bawah jalur kereta api, Jalan Cikini IV, mata akan disuguhi berbagai kedai makan di kiri dan kanan jalan. Beberapa warung makanan tradisional bertebaran di kawasan itu.
Misalnya, warung yang lebih mirip rumah, persis di samping warung mi legendaris, Mi Gondangdia. Pada pagar halaman terpancang dua penanda dalam ukuran yang terbilang mungil, Sate Ponorogo dan Pecel Madiun.
Jangan salah masuk ke sisi kiri. Pilihlah pintu masuk ke dalam rumah. Masuk ke warung ini memang bagaikan bertamu ke rumah seseorang. Pasalnya, warung ini memang semula rumah tinggal, dan masih berbentuk rumah, yang kemudian berubah fungsi menjadi warung. Suasana Jawa cukup terasa dengan hiasan beberapa wayang di dinding tembok.
Seperti yang tertulis pada penanda di pagar luar, menu andalan di sini memang pecel madiun dan sate ponorogo. Tapi masih ada satu andalan lagi, rawon. Tiga menu inilah yang paling sering diserbu pengunjung. Warung ini buka pukul 08.00-17.00, Senin-Sabtu, dan memang menyasar pekerja kantoran. Usai waktu makan siang, sekitar pukul 14.00, biasanya lauk-lauk itu sudah ludes. Yang tersisa menu lain seperti sop, empal, tahu, tempe bacem, dan lainnya.
Beruntung, Warta Kota masih bisa mencoba ketiga menu andalan itu. Plus jus stroberi yang terasa begitu segar, manisnya tak terlalu manis, dan asamnya tak terlalu asam. Pecel madiun datang tak berpincuk. Pecel ini dihidangkan dalam piring yang dilapisi daun pisang. Nasi yang tak terlalu penuh disandingkan dengan daun pepaya, daun singkong, taoge, kemangi, kenikir, irisan timun, dan kecipir berlumur bumbu kacang. Tak lupa peyek kacang.
Bagi mereka yang tak terlalu doyan pedas, jangan lupa pesan bumbu sedang. Jika tidak, perut Anda bisa langsung panas dan nafsu makan pun lenyap. ”Aslinya pecel madiun itu pedes, memang. Tapi kan enggak semua bisa makan pedes, jadi kita bikin yang sedang. Biasanya juga ada jeroan, goreng-gorengan, tapi kita enggak mau pakai itu. Kita pengin yang sehat aja, jadi daun-daunan aja,” kata Irna HN Hadi Soewito, si pemilik. Menurut dia, jika sedang musim, petai cina dan kembang turi pun ditambahkan dalam pecel.
Keluak obat
Satu piring pecel madiun yang dibanderol Rp 15.000 lumayan penuh mengisi perut. Jika isi kantong memungkinkan, bisa ditambah seporsi sate ponorogo. Daging ayam yang digunakan untuk sate ini harus ayam kampung. Kenapa? Supaya rasanya empuk dan tak banyak lemak seperti kebanyakan daging ayam negeri. ”Cara motongnya juga beda. Jadi ayam harus digantung, diiris-irisnya ya sambil digantung itu. Makanya daging sate bentuknya agak gepeng,” ungkap Irna.
Seporsi sate ponorogo harganya Rp 20.000, bisa pilih daging saja atau campur (dengan ati ampela dan kulit). Bumbu kacangnya sangat halus. Dan yang pasti, dagingnya tak bercampur gombyor lemak.
Ada cerita di balik rawon yang dijual di sini. Rawonnya begitu kental. Menu-rut Irna, ketika dia memulai usaha pada tahun 2000, garasi diubah menjadi warung dengan hanya tiga meja. Menunya hanya pecel madiun. ”Karena dulu rumah itu dikontrakkan, terus habis masa kontraknya. Suami saya bilang, sayang kalau enggak digunakan. Akhirnya dari tiga meja, kita bikin banyak meja di dalam rumah. Bongkar-bongkar sedikit. Menunya juga kita tambah, ada rawon dan sate ponorogo,” tuturnya.
Pada awal dagang itu ada satu pelanggan yang tiap pagi pasti pesan makanan di tempat itu. ”Ketika kita tanya, siapa orangnya, ternyata Ibu Hartini Soekarno (alm). Terus saya komunikasi lewat surat yang saya titipkan pada saat Ibu Har pesan makanan. Saya minta dikritik kalau ada yang kurang. Kemudian beliau kritik soal rawon. Katanya kurang mantap. Terus saya dikasih resep. Jadi itu resep Bu Har,” papar ibu lima putra ini.
Irna menjelaskan, rawon di Jawa Timur ada dua macam, bening dan tidak bening. Tapi karena mengetahui keluak (pucung) sebagai bahan utama rawon ternyata banyak diekspor, dia bertanya-tanya, kenapa. ”Ternyata dalam keluak ada kandungan yang digunakan sebagai obat hepatitis B. Lantas karena saya ingin makanan yang saya jual itu menyehatkan, ya saya biarkan saja rawon di tempat saya dibikin sangat kental. Kan sekalian untuk obat,” ujarnya. (Pradaningrum Mijarto)
Sumber: www.kompas.com (15 Agustus 2008)