Jakarta - Sejak dua tahun terakhir, batik sebagai busana kembali semarak dikenakan dalam berbagai kesempatan, setidaknya di Jakarta. Menonton ke bioskop, ke kantor, arisan, nongkrong di kafe dan lounge, hingga mengantar anak ke sekolah, batik menjadi ”seragam” baru.
Desain bajunya lucu-lucu dan in untuk sekarang. Juga bahannya katun, enak dipakai. Model bajunya yang macam-macam itu cocok banget untuk berbagai ukuran badan, termasuk yang besar,” kata Katharine Grace (35).
Pengacara yang berkantor di gedung Bursa Efek Indonesia itu memakai baju batik ke kantor sejak pertengahan 2007, terutama pada Jumat saat biasanya para profesional berpakaian rapi, tetapi tidak kaku.
”Ketika ada pertemuan Asia Pasifik, Mei lalu di Ho Chi Minh City di Vietnam, saya pakai baju batik. Saya bangga waktu orang-orang tanya saya pakai baju apa. Jadi, bukannya orang tidak mau pakai batik, tetapi bagaimana batik didesain sesuai mode sekarang,” kata ibu dua putri itu lagi.
Kembali populernya batik saat ini agak di luar dugaan. Namun, itulah mode. Selalu ada hal tak terduga yang membuat sebuah tawaran mode segera diterima luas.
Desain sendiri menentukan, baik untuk pakaian maupun ragam hias batiknya. Ketika perancang busana Edward Hutabarat membuat rangkaian busana dari batik katun pada tahun 2006, dia menawarkan batik dalam desain busana baru sesuai suasana zaman. Desain baju yang bervolume kebetulan juga sedang populer kembali sehingga mengakomodasi apa yang disebut Grace desain yang cocok untuk beragam bentuk tubuh.
Dari tangan para perancang, busana batik pun dengan cepat menyebar ke pasar luas. Pada saat bersamaan, mood masyarakat memang sedang ingin kembali dekat dengan sesuatu yang berasal dari warisan, sesuatu yang sudah dikenal akrab.
Industri kreatif
Harga satu atasan batik bervariasi, dari yang berkisar Rp 100.000-an hingga sekitar Rp 1 juta. Untuk yang berharga Rp 100.00-an atau kurang, pembeli memang harus cermat karena bukan tidak mungkin bahan yang digunakan kain print bermotif batik.
Para seniman batik dan kain, seperti Iwan Tirta dan Obin dari Bin House, dan disepakati Departemen Perindustrian, menekankan, batik adalah teknik merintang warna menggunakan malam/lilin untuk membentuk ragam hias. Cara menoreh malam bermacam-macam, bisa memakai canting atau cap, tetapi bisa juga memakai cara lain.
Satu hal lagi, batik sebagai teknik bukan khas Indonesia, tetapi di Indonesia, terutama Jawa dan Madura, batik berkembang dan mengalami pencanggihan yang tidak terjadi di negara lain. Batik, istilah yang diterima secara internasional, berasal dari kosakata Indonesia dan canting pun diciptakan di Jawa.
Empu batik Iwan Tirta menyebutkan, batik di Indonesia, terutama Jawa dan Madura, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, digunakan untuk menandai kelahiran hingga kematian. Batik juga saling memengaruhi seni lain, seperti tari, wayang kulit, dan wayang orang.
Di dunia, motif batik Indonesia berulang kali digunakan perancang dan rumah mode dunia sebagai batik print, antara lain Chloe (motif mega mendung), Paul Smith (motif pesisiran), dan Mei lalu Oscar de la Renta untuk koleksi resor.
Batik terus bertahan, bahkan berkembang untuk dipakai sehari-hari—juga antara lain dalam produk interior—karena memiliki potensi pembangkitan nilai ekonomi.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan, munculnya berbagai kebimbangan tradisi versus modern (Barat) dalam perjalanan estetika Indonesia. Batik tampaknya mampu mengatasi hal itu. Ragam hiasnya yang tak terbatas selalu mampu mengikuti perubahan selera masyarakat tanpa kehilangan keunikan.
Pemerintah, yang tidak mau ketinggalan dalam mengembangkan ekonomi gelombang keempat yang berbasis ide kreatif, bulan ini meluncurkan peta industri kreatif Indonesia hingga 2030. Mode dan kerajinan di antara 14 industri kreatif yang didorong untuk ditingkatkan nilai ekonominya, batik berada pada keduanya.
Tahun 2007, Departemen Perindustrian menyebut industri batik tulis, cap, dan kombinasi keduanya bernilai Rp 2,3 triliun dengan nilai ekspor per tahun 110 juta dollar AS dan dikerjakan 48.000 unit usaha di sejumlah provinsi di Tanah Air. Jumlah industri sebenarnya dapat lebih tinggi lagi mengingat industri ini banyak dikerjakan sebagai industri rumah tangga.
Bergairah
Pasar yang bergairah juga menggairahkan kembali industri batik di daerah. Beberapa provinsi yang tidak memiliki tradisi batik seperti Jawa dan Madura, antara lain Aceh, Riau, Lampung, bahkan Papua, juga tertarik mengembangkan batik. Batik yang lama tak terdengar kabarnya, seperti dari Indramayu dan Gunung Kidul yang merupakan batik rakyat, kini muncul lagi.
Melihat kegairahan para pemakai maupun industri batik, Prof Masakatsu Tozu, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Ekonomi di Universitas Kokushikan, Tokyo, yang datang ke Jakarta untuk pameran Adiwastra Nusantara, April lalu, kepada Kompas mengatakan, batik dapat menjadi salah satu perekat Indonesia melalui budaya. Alasannya, batik tidak hanya dipakai dan diproduksi di Jawa, tetapi juga di berbagai tempat di Nusantara.
Bukti konkret adalah meratanya reaksi kejengkelan masyarakat Indonesia terhadap klaim negara tetangga sebagai pemilik batik. Kini para perancang bersama perajin di berbagai daerah tengah mencari kain-kain Nusantara lain yang dapat dipopulerkan seperti batik. Mungkin dampaknya tidak akan segera menyentuh perajin dalam skala besar karena memang batiklah yang secara industri paling siap melayani pasar. [Ninuk Mardiana Pambudy]
Sumber: cetak.kompas.com (11 Juni 2008)