Malaka, Malaysia- Slogan ”Melawat Melaka Bersejarah Berarti Melawat Malaysia” agaknya bukan sekadar ungkapan untuk menarik wisatawan berkunjung ke Malaka, Malaysia. Ini terlihat jelas pada hari Minggu pertengahan Agustus lalu ketika memasuki Kota Malaka di siang hari. Kesan sepi dalam perjalanan menuju Malaka melalui jalan tol sirna seketika.
Begitu mendekati pusat kota lama yang tak seberapa luas itu, semua kendaraan serasa tidak bergerak. Meski sebagian jalan utama ditetapkan satu arah dengan lebar tiga-empat lajur, ledakan kunjungan wisatawan seolah tak tertampung di pusat kota. Walau demikian, kepadatan arus lalu lintas itu tak sampai menimbulkan ketidaknyamanan karena semua pengemudi tertib dan sabar menghadapi kemacetan tanpa keinginan menyerobot. Bahkan, tidak terlihat seorang polisi pun yang perlu mengatur arus lalu lintas.
”Biasanya tak seperti ini, tetapi kali ini sangat ramai, entah kenapa,” ujar seorang polisi perairan yang sedang tak bertugas.
Sebenarnya kepadatan arus wisatawan ke Malaka sudah bisa diperkirakan. Ini bukan hanya disebabkan ketertarikan wisatawan oleh slogan yang terbaca jelas begitu memasuki wilayah Negeri Malaka itu. Namun, kota bersejarah bagi Malaysia itu memang menyediakan sesuatu yang lain dari suatu obyek wisata. Sepintas tampak dominasi bangunan tua yang tetap terawat untuk memudahkan pengunjung mengingat masa lalu di tempat tersebut.
Di kota ini memang disajikan kehidupan penduduk dari berbagai kalangan yang selama 600 tahun membuat Malaka cukup dikenal di dunia. Kelainan ini membuat Malaka menjadi salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di kawasan Asia.
Hingga kini Malaka merupakan negeri yang kaya dengan sejarah dan budaya tersendiri. Berbatasan dengan Negeri Sembilan dan Johor, Malaka menawarkan pelbagai keistimewaan. Terutama sekali di negeri inilah bermula sejarah kesultanan Melayu.
Malaka kini mempunyai daya tarik tersendiri. Bahkan, meski tawaran utama bagi wisatawan adalah menikmati keindahan kota lama yang disebut bisa menceritakan tentang peperangan dan penyiksaan, percintaan, dan penyesalan, Malaka juga menjadi kota yang juga menawarkan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Karena itulah, Malaka juga disebut sebagai kota yang tiada tandingannya.
Karena itu, wajar jika Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) akhirnya menetapkan Malaka dan George Town di Selat Malaka sebagai salah satu dari World Heritage Sites bersama dengan 27 tempat baru yang ditambahkan dalam sidang ke-32 UNESCO di Quebec, Kanada, Juli lalu.
Menguak sejarah
Untuk lebih mengenal Malaysia, dengan kebudayaan bangsa Melayu yang bergandengan erat dengan budaya berbagai bangsa di dunia, memang cukup dengan mendatangi kota tua Malaka. Di kota ini, sejarah perjalanan bangsa Melayu terkuak melalui berbagai peninggalan bersejarah yang masih terawat dengan baik. Bahkan, untuk itu cukup dengan melangkah dari satu lokasi ke lokasi lain di pusat kota yang dipenuhi dengan museum dan galeri.
Di pusat kota Malaka terdapat sejumlah museum yang bisa disebut memenuhi setiap sudut pusat kota. Di kompleks permuseuman Stadthuys, misalnya, terdapat Museum Sejarah dan Ethnografl, Museum Sastra, Museum Pemerintahan Demokrasi, Museum Yang di-Pertuan Negeri, serta Galeri Laksamana Cheng Ho. Adapun di kompleks museum maritim terdapat Museum Samudera Fasa I dengan replika kapal Portugis, Flor de La Mar, Museum Samudera Fasa II, dan beberapa museum lainnya. Untuk memperkaya catatan bersejarah Malaka, telah berdiri pula dua museum baru, yaitu Museum Setem Melaka dan Museum Dunia Melayu Dunia Islam.
Melalui kunjungan ke berbagai museum itu, pengunjung bisa membayangkan sebuah tempat bersejarah yang mempunyai keunikan dari perjalanan sejarah Malaysia yang berakar di Malaka sejak 600 tahun silam. Begitu pula bisa mengetahui rahasia di balik kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Malaka. Atau juga hikmah dari perkawinan Parameswara dengan Puteri Pasai.
Harus diakui, Malaka kaya dengan tempat-tempat yang menarik dan bersejarah. Karena itu, tidaklah keliru jika dalam usaha menambah daya tarik wisatawan, pendirian berbagai museum sebagai bangunan koleksi peradaban rakyat Malaysia itu mampu menjadikan Malaka sebagai negeri permuseuman.
Melihat lokasi strategis yang dimiliki Malaka sebagai negeri tujuan wisata, tempat itu membuat mudah dijangkau dari Kuala Lumpur maupun Singapura, bahkan dari Indonesia. Kalau kondisi ini tak sekadar menjadi kekaguman akan upaya Malaysia menata obyek wisata sejarah, boleh jadi Indonesia bisa belajar banyak dan memanfaatkan kemampuan Malaysia menata Malaka. Mungkin bagi orang Malaka, untuk lebih mengharapkan kunjungan wisatawan mereka masih harus melantunkan pantun:
Kapal Dagang dari Seberang,
Sarat Muatan Kayu Meranti
Dari jauh Tuan/Puan Datang,
Orang Melaka Sedia Menanti
Bagi Indonesia, hingga matahari terbenam di Malaka hari Minggu itu, serasa tidak sulit untuk berpromosi untuk menunjukkan betapa Indonesia cukup dikenal oleh bangsa serumpun. Bahkan tanpa disadari, sebuah becak mengangkut wisatawan yang melintas di senja itu seolah mempromosikan Indonesia dengan mengalunkan sebuah lagu dengan suara yang jelas: Oh... oh... kamu ketahuan.
Tinggal masalahnya, mampukah kita menghidupkan kota-kota tua dan bersejarah menjadi kota tujuan wisata yang apik seperti Malaka? (dth)
Sumber: www.kompas.com (22 September 2008)