Desa Budaya Dayak Kenyah Lekaq Kidau

Kutai, Kalimantan Timur - Desa budaya Dayak Kenyah ini terletak di Desa Lekaq Kidau, Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Desa budaya ini bisa dicapai menggunakan jalur darat ataupun jalur sungai. Untuk jalur darat dibutuhkan waktu dua jam perjalanan, sekitar 140 km dari Kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kenyah adalah salah satu suku Dayak yang ada. Suku-suku lain di antaranya Modong, Tunjung, Benoaq, dan Punan. Seperti kebanyakan suku Dayak lain, suku Kenyah sudah terbuka atau menjalin interaksi dengan masyarakat luar. Hanya suku Punan yang masih membatasi atau mengisolasi dari masyarakat luar. Selain hidup di tengah hutan, mereka juga masih menjalani hidup berpindah-pindah (nomaden).

Untuk sampai di desa budaya Lekaq Kidau, pengunjung terlebih dahulu menyeberangi Sungai Mahakam saat sampai di Desa Selarong, Kecamatan Sebulu, dengan menggunakan ketinting, kapal kecil bermesin yang muat sekitar lima penumpang. Penumpang cukup membayar Rp 6.000 per orang (siang hari) dan Rp 12.000 (malam hari) untuk perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar lima menit.

Saat Kompas mendatangi desa tersebut pertengahan Juli lalu warga sedang gotong royong untuk menyiapkan upacara adat. Berbagai perlengkapan upacara sedang diselesaikan pembuatannya. Salah satunya hiasan khas Dayak yang dibuat dengan menyerut kayu busang atau dalam bahasa setempat disebut nyerbu. Sebagian dari mereka mengenakan bluko, topi adat untuk laki-laki.

Warga juga menyiapkan belawing atau pasak desa yang terbuat dari kayu ulin yang diukir. Menurut Kepala Adat Desa Lekaq Kidau Bayaq Ding, belawing ini harus ada di setiap kampung Dayak sebagai penanda desa. Belawing juga menjadi lambang persatuan dan kesatuan warga. Belawing ini dipasang di depan lamin atau rumah adat. Lamin biasa digunakan untuk acara-acara adat, seperti pernikahan adat, mendamaikan warga yang berselisih, dan musyawarah desa.

Desa Lekaq Kidau yang baru ditempati 10 tahun ini terdiri atas 157 kepala keluarga. Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidup dari bercocok tanam. Hasil pertaniannya adalah padi, sayur-mayur, jagung, dan ubi. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sambilan, yaitu dengan membuat kerajinan, seperti gelang, kalung, dan tameng. Produk tersebut ditawarkan saat ada pengunjung yang datang.

Salah satu warga yang membuat kerajinan adalah Pelaai. Nenek berusia 70 tahun itu membuat kerajinan di sela-sela kegiatan berladang. Nenek ini juga satu dari sebagian kecil warga yang masih memasang hiasan gelang di telinga.

Sebelum menempati desa ini mereka tinggal di Desa Long Lees, Kabupaten Kutai Timur, yang saat itu ditempuh selama dua hari dua malam. Namun, saat ini sudah bisa ditempuh selama lebih kurang enam jam perjalanan darat.

Tujuan mereka pindah untuk mendekati sekolah dan pelayanan kesehatan. Masyarakat desa ini sudah meninggalkan pengobatan tradisional yang dulu digunakan nenek moyang mereka. Rumah tinggal pun terpisah-pisah, tidak seperti dahulu saat semua warga hidup dalam umak atau rumah yang panjang yang ditempati bersama-sama. (Teks dan foto-foto: Heru Sri Kumoro)

Sumber: cetak.kompas.com (28 Juli 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts